2,175 views Menguji Efektivitas Penganggulangan Konflik Gajah-Manusia di Aceh Jaya - KEHATI KEHATI

Menguji Efektivitas Penganggulangan Konflik Gajah-Manusia di Aceh Jaya



  • Date:
    14 Agu 2019
  • Author:
    KEHATI

Persoalan konflik gajah dan manusia terjadi hampir setiap tahun di Aceh. Ada saja kasus yang terjadi yang menimbulkan korban di kedua belah pihak, baik matinya gajah karena jerat atau racun hingga rusaknya kebun, pemukiman bahkan korban manusia yang jatuh karena amukan gajah. Pemicu konflik ini bukan hanya karena adanya persepsi di masyarakat bahwa gajah dianggap sebagai hama, namun diwarnai pula oleh perburuan gading gajah yang bernilai ekonomi tinggi.  

Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sepanjang 2012-2017 tercatat 68 ekor gajah mati, 55 ekor (81%) di antaranya diakibatkan oleh konflik dengan manusia. Selain kematian gajah, konflik ini juga mengakibatkan setidaknya 11 orang terluka dan delapan orang meninggal. Konflik gajah yang terus meningkat dari tahun ke tahun di Aceh berdampak pada penurunan populasi gajah dari sekitar 800 ekor di tahun 2003 menjadi 500-535 ekor di tahun 2015. Jika konflik ini terus berlangsung, gajah Aceh dapat punah dalam 30-40 tahun ke depan.   Hal ini menggerakkan CRU, salah satu mitra TFCA-Sumatera di Aceh yang berupaya menurunkan tingkat konflik satwa -manusia untuk membuat inisiatif membangun barrier atau parit di pinggir hutan yang bersambung dengan barier alami. Dengan begitu, diharapkan gajah liar tidak keluar dari hutan.  

Di Aceh Jaya, ada dua barrier penahan agar gajah liar tidak keluar dari Kawasan,  yaitu dengan membangun parit dalam sepanjang 1400 m dan pagar yang diberi tegangan listrik sepanjang 245 meter. Kedua barrier ini hanya dipasang di beberapa tempat yang ada kekosongan barrier alami, bukan disepanjang batas habitat gajah.  Menurut Wahdi Azmi, pemasangan barrier buatan ini akan menambah kelengkapan strategi mitigasi konflik gajah di Aceh Jaya.  Penyelesaian masalah konflik gajah tidak bisa hanya dilakukan dengan satu solusi tunggal, namun upaya preventif harus tetap didorong agar penurunan jumlah populasi tidak terus terjadi.  

Pada satu kesempatan diskusi yang membahasa strategi barrier dalam menanggulangi konflik gajah di Banda Aceh, Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA menyebutkan bahwa  populasi gajah liar lebih banyak berada di kawasan hutan yang dikelola oleh Dinas Kehutanan bahkan juga dikawasan APL yang sudah dibebani hak HGU oleh berbagai pihak swasta.  “Aceh Jaya adalah salah satu contoh yang unik, dimana tidak satupun kawasan konservasi dibawah BKSDA berada di Kabupaten ini, tapi populasi gajah masih ada dan cukup signifikan,” katanya.   Tantangan untuk pengelolaan konflik di Aceh, khususnya Aceh Jaya cukup unik.  

Pasalnya, sebagian besar persebaran populasi gajah di Aceh berada di luar kawasan konservasi yang dikelola langsung oleh BKSDA Aceh.  Namun demikian BKSDA Aceh tengah mendorong terjalinnya suatu skema pengelolaan kolaboratif  melalui sebuah konsorsium yang terdiri dari BKSDA Aceh, KPH wilayah I dan lembaga CRU Aceh yang didukung oleh skema pendanaan dari TFCA Sumatera.  Masyarakat setempat yang diwakili oleh geuchik gamping, kepala mukim dan masyarakat yang wilayah kelolanya dilalui oleh rencana pembuatan parit atau pagar listrik juga diajak untuk terlibat dalam kegiatan ini.  Diharapkan intensitas konflik dapat ditekan dan masyarakat dapat hidup berdampingan bersama satwa yang dulu pernah dihormati dengan gelar po meurah ini.  (Iwn)