1,425 views Zul Bantu Nelayan Tiram Atasi Kemiskinan Melalui Metode Floating Culture - KEHATI KEHATI

Zul Bantu Nelayan Tiram Atasi Kemiskinan Melalui Metode Floating Culture



  • Date:
    10 Agu 2019
  • Author:
    KEHATI

Jakarta – Generasi muda dirasa semakin memainkan peranan penting di berbagai aspek kehidupan, termasuk di bidang lingkungan. Kita mungkin  pernah mendengar bagaimana seorang Greta Thunberg, remaja berusia 15 tahun asal Swedia bisa menginspirasi dunia internasional dalam memerangi perubahan iklim. Tak kalah, Indonesia juga memiliki banyak sosok generasi muda inspiratif, salah satunya yaitu Zulfikar, anak muda berusia 24 tahun yang sejak tahun 2017 telah melakukan restorasi mangrove sekaligus budidaya tiram di Desa Alue Naga, Kota Banda Aceh.

 

 

Bermula dari tugas kuliah, Zulfikar melakukan survey di Desa Alue, Kota Banda Aceh. Dari survey tersebut, pemuda yang akrab disapa Zul ini menemukan fakta yang menyedihkan, yaitu banyaknya penduduk yang tinggal di lingkaran kemiskinan. Fakta ini membuat Zul tergerak untuk melakukan program pemberdayaan masyarakat disana.

 

 

“Saya tergerak untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di Desa Alue Naga. Tidak habis pikir bagaimana desa dengan potensi kekayaan alam yang tinggi, bisa menyandang status desa termiskin di Kota Banda Aceh,” ujar Zul, yang kala itu berstatus mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, Aceh ini.

 

 

Sebagai anggota Biodiversity Warriors (BW), Zul mengajukan proposal kepada Yayasan KEHATI melalui skema Small Grant Project, yaitu program pemberian dana hibah yang diberikan oleh KEHATI untuk memfasilitasi anggota BW dalam melakukan program pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Dana tersebut dipakai oleh Zul untuk membeli bibit mangrove, dan sisanya dipakai untuk membeli perlengkapan budidaya tiram.

 

 

Zul berpikiran bahwa kegiatan restorasi mangrove harus beriringan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara konvensional mencari tiram menyulitkan warga untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Di sisi lain, kerusakan ekosistem mangrove yang tidak mampu menahan terjangan tsunami di tahun 2004 penambah derita masyarakat Desa Alue Naga.

 

 

“Ketika nelayan mencari tiram dengan cara konvensional, penghasilan yang didapat hanya sekitar 10 ribu sampai 15 ribu per hari. Nelayan tiram yang didominasi oleh ibu rumah tangga harus berendam selama 5 sampai 6 jam untuk mendapatkan tiram. Tidak hanya penghasilan yang kecil, ibu-ibu di Desa Alue Naga juga harus mengorbankan waktu bersama anak-anak mereka,” jelas Zul.

 

 

Sambil merestorasi lahan mangrove yang sudah rusak, Zul mengubah pola nelayan konvensional dalam mencari tiram kepada pola yang lebih modern. Melalui metode floating culture, Zul menggunakan ban mobil dan ban motor bekas yang ditancapkan ke dasar sungai untuk dijadikan keramba. Pola ini memerlukan 4 bulan untuk masa tumbuh sebelum dipanen. Tidak seperti cara lama, nelayan tiram hanya memerlukan waktu 2 sampai 3 jam saja untuk berendam di air setiap harinya.

 

 

Cara baru ini memberikan hasil yang positif.  Hasil panen yang jauh lebih baik dijual oleh nelayan ke daerah lain atau dijadikan produk olahan seperti kerupuk atau nugget. Penghasilan masyarakat pun meningkat drastis mencapai 100 ribu sampai 150 ribu per hari. Zul berharap warga lain untuk ikut menggunakan pola baru dalam mencari tiram.

 

 

Sampai tahun 2019, Zul mencatat sekitar 75 warga yang sudah beralih ke pola floating culture. Untuk restorasi mangrove, 5 sampai 6 hektar hutan mangrove berhasil direstorasi.

 

 

Pihak lain pun tak tinggal diam. Beberapa pihak turut terlibat dalam pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan budidaya tiram ini, seperti LSM lokal Natural Aceh, Universitas Islam Negeri Ar Raniry, Unsyiah Aceh, dan Pemerintah Kota Banda Aceh.

 

 

Zul berharap pihak-pihak terkait terutama Pemerintah kota Banda Aceh untuk terus mendukung masyarakat Desa Alue Naga. Terdapat kurang lebih 10 hektar lahan mangrove yang perlu direstorasi, dan sekitar 200 nelayan yang masih menggunakan cara lama dalam mencari tiram.

 

 

“Yayasan KEHATI melihat generasi muda sebagai agen perubahan yang menjadi tumpuan dalam program pelestarian dan pemberdayaan keanekaragaman hayati di Indonesia. Semoga semakin banyak generasi muda seperti Zul kedepannya, dan KEHATI akan terus memberikan dukungan untuk mewujudkan alam lestari untuk manusia kini dan masa depan anak negeri,” tutup Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI Riki Frindos.